Tunjangan sertifikasi yang seharusnya mensejahterakan para guru, berpotensi menjadi ladang korupsi yang subur.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Forum Musyawarah Guru DKI Jakarta (FMGJ), kemarin, menggelar jumpa pers bertajuk “Korupsi Dana Sertifikasi Guru”. Acara ini dihadiri Ade Irawan (Manajer Monitoring Pelayanan Publik ICW), Lody Paat (Koalisi Pendidikan), Retno Listyarti (Koordinator FMGJ), Wildan Chandra (Serikat Guru Tanggerang), Turman (Serikat Guru Serang) dan Prio (bekas guru SD di Jember).
Dalam
acara di kantor ICW, Jakarta ini, Koordinator FMGJ Retno Listyarti
lebih banyak bicara ketimbang yang lain. Dia menyatakan, pemerintah
telah memberikan tunjangan sertifikasi kepada guru yang sudah
disertifikasi, dan tunjangan non sertifikasi kepada guru yang belum
memperoleh sertifikat pendidik. “Berdasarkan SK Presiden, tunjangan
sertifikasi diberikan setiap bulan sebesar satu kali gaji pokok, dan
tunjangan non sertifikasi Rp 250 ribu,” tandasnya.
Retno
menambahkan, walaupun dianggap sebagai langkah maju, tapi mekanisme
untuk memperoleh tunjangan tersebut membuka peluang terjadinya
korupsi. “Kami rasa ada korupsi pihak-pihak yang menangani masalah ini,”
katanya.
Hasil kajian ICW dan FMGJ menyebutkan, ada tiga masalah pokok dalam pencairan kedua tunjangan itu. Pertama, penentuan urutan guru, dimana program sertifikasi direncanakan selesai pada 2015. “Tentu tidak ada yang mau mendapat sertifikat pada tahun tersebut. Karena itu, mereka akan berlomba dapat mengisi posisi pada tahun-tahun awal,” imbuhnya.
Menurut Retno, penentu guru yang berhak mengisi kuota untuk mengikuti program sertifikasi ialah kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan. Pada tahap ini kolusi dan suap sangat mungkin terjadi. “Mereka yang memiliki kedekatan dengan kepala sekolah, pengawas dan dinas atau yang mampu mengeluarkan uang sogok, memiliki kesempatan besar untuk mengisi kuota,” tandasnya.
Kedua, biaya administrasi mengurus portofolio juga rawan diselewengkan. Pasalnya, untuk mendapatkan tunjangan profesi, seorang guru harus mengumpulkan portofolio. “Jika mereka lulus akan mendapat tunjangan profesi, jika tidak harus ikut Diklat Profesi Guru,” ujarnya.
Masalah, lanjut Retno, kembali muncul manakala dalam mengurus, mengumpulkan dan menyerahkan portofolio kepada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPPTK) Dinas Pendidikan, para guru dimintakan uang yang jumlahnya bervariasi. “Ada yang dikenakan Rp 50 ribu, ada yang Rp 200 ribu per orang,” ucapnya.
Ketiga, ditemukan keterlambatan pencairan. Menurut Retno, pembagian tunjangan sertifikasi guru terganjal masalah petunjuk teknis yang berdasarkan surat Permenkeu Nomor 177/PMK.07/2010. Dalam surat itu disebutkan, tunjangan profesi guru PNS merupakan bagian dari pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD 2010 atau APBDP 2010.
Menurut Retno, perubahan mekanisme penyaluran tunjangan diduga dimanfaatkan penyelenggara pada tingkat daerah untuk ikut mengambil keuntungan. Modus yang digunakan ialah memperlambat pencairan kepada guru guna memperoleh bunga. “Ada juga daerah yang meminta guru untuk mengubah rekeningnya, sehingga mempermudah daerah melakukan manipulasi,” tegasnya.
Selain itu, lanjut dia, terdapat masalah pemotongan tunjangan profesi guru. Masalah itulah yang paling banyak ditemukan. “Berbagai alasan digunakan dinas pendidikan atau UPTD untuk ikut menikmati uang sertifikasi dan non sertifikasi itu. Mulai dari permintaan uang terimakasih, membiayai kegiatan dinas atau UPTD, maupun potongan pajak. Jumlahnya bervariasi antara Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu,” paparnya.
Dia mencontohkan, untuk DKI Jakarta kasus yang dihadapi guru antara lain tunjangan non sertifikasi untuk PTT dan CPNS hanya diterima enam bulan. “Seharusnya 22 bulan. Untuk tunjangan sertifikasi hanya 10 bulan yang cair, sisanya entah kemana.”
Retno juga menyesalkan molornya waktu pencairan tunjangan tersebut. Tunjangan sertifikasi molor pencairannya hingga 10 bulan, sementara untuk tunjangan non sertifikasi molor sampai 22 bulan. “Jika ini terus terjadi, maka kami akan segera melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” tegasnya.
Menanggapai hal itu, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal mengatakan, sebaiknya ICW dan FMGJ melakukan penelitian secara benar. “Benarkah ada tindakan korupsi di sana?” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka.
Jika ditemukan bukti ada yang melakukan korupsi, kata Fasli, sebaiknya ICW dan kawan-ka wan segera melaporkannya ke lembaga penegak hukum. “Kami menyarankan agar yang diduga korupsi dilaporkan kepada yang berwajib,” katanya.
Fasli menambahkan, pihaknya sejauh ini sudah melakukan penyaluran tunjangan sertifikasi dan non sertifikasi secara tepat sasaran. “Itu langsung disetorkan ke rekening masing-masing. Jadi, dimana letak korupsinya,” tandas dia.
Hasil kajian ICW dan FMGJ menyebutkan, ada tiga masalah pokok dalam pencairan kedua tunjangan itu. Pertama, penentuan urutan guru, dimana program sertifikasi direncanakan selesai pada 2015. “Tentu tidak ada yang mau mendapat sertifikat pada tahun tersebut. Karena itu, mereka akan berlomba dapat mengisi posisi pada tahun-tahun awal,” imbuhnya.
Menurut Retno, penentu guru yang berhak mengisi kuota untuk mengikuti program sertifikasi ialah kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan. Pada tahap ini kolusi dan suap sangat mungkin terjadi. “Mereka yang memiliki kedekatan dengan kepala sekolah, pengawas dan dinas atau yang mampu mengeluarkan uang sogok, memiliki kesempatan besar untuk mengisi kuota,” tandasnya.
Kedua, biaya administrasi mengurus portofolio juga rawan diselewengkan. Pasalnya, untuk mendapatkan tunjangan profesi, seorang guru harus mengumpulkan portofolio. “Jika mereka lulus akan mendapat tunjangan profesi, jika tidak harus ikut Diklat Profesi Guru,” ujarnya.
Masalah, lanjut Retno, kembali muncul manakala dalam mengurus, mengumpulkan dan menyerahkan portofolio kepada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPPTK) Dinas Pendidikan, para guru dimintakan uang yang jumlahnya bervariasi. “Ada yang dikenakan Rp 50 ribu, ada yang Rp 200 ribu per orang,” ucapnya.
Ketiga, ditemukan keterlambatan pencairan. Menurut Retno, pembagian tunjangan sertifikasi guru terganjal masalah petunjuk teknis yang berdasarkan surat Permenkeu Nomor 177/PMK.07/2010. Dalam surat itu disebutkan, tunjangan profesi guru PNS merupakan bagian dari pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD 2010 atau APBDP 2010.
Menurut Retno, perubahan mekanisme penyaluran tunjangan diduga dimanfaatkan penyelenggara pada tingkat daerah untuk ikut mengambil keuntungan. Modus yang digunakan ialah memperlambat pencairan kepada guru guna memperoleh bunga. “Ada juga daerah yang meminta guru untuk mengubah rekeningnya, sehingga mempermudah daerah melakukan manipulasi,” tegasnya.
Selain itu, lanjut dia, terdapat masalah pemotongan tunjangan profesi guru. Masalah itulah yang paling banyak ditemukan. “Berbagai alasan digunakan dinas pendidikan atau UPTD untuk ikut menikmati uang sertifikasi dan non sertifikasi itu. Mulai dari permintaan uang terimakasih, membiayai kegiatan dinas atau UPTD, maupun potongan pajak. Jumlahnya bervariasi antara Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu,” paparnya.
Dia mencontohkan, untuk DKI Jakarta kasus yang dihadapi guru antara lain tunjangan non sertifikasi untuk PTT dan CPNS hanya diterima enam bulan. “Seharusnya 22 bulan. Untuk tunjangan sertifikasi hanya 10 bulan yang cair, sisanya entah kemana.”
Retno juga menyesalkan molornya waktu pencairan tunjangan tersebut. Tunjangan sertifikasi molor pencairannya hingga 10 bulan, sementara untuk tunjangan non sertifikasi molor sampai 22 bulan. “Jika ini terus terjadi, maka kami akan segera melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” tegasnya.
Menanggapai hal itu, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal mengatakan, sebaiknya ICW dan FMGJ melakukan penelitian secara benar. “Benarkah ada tindakan korupsi di sana?” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka.
Jika ditemukan bukti ada yang melakukan korupsi, kata Fasli, sebaiknya ICW dan kawan-ka wan segera melaporkannya ke lembaga penegak hukum. “Kami menyarankan agar yang diduga korupsi dilaporkan kepada yang berwajib,” katanya.
Fasli menambahkan, pihaknya sejauh ini sudah melakukan penyaluran tunjangan sertifikasi dan non sertifikasi secara tepat sasaran. “Itu langsung disetorkan ke rekening masing-masing. Jadi, dimana letak korupsinya,” tandas dia.
Sumber: RAKYAT MERDEKA OLINE
http://kebumenwasdik.blogspot.com/2012/11/icw-cs-beberkan-3-jurus-korupsi.html
http://kebumenwasdik.blogspot.com/2012/11/icw-cs-beberkan-3-jurus-korupsi.html