SekolahDasar.Net | Portal Pendidikan Sekolah Dasar

Rabu, 28 November 2012

icw-cs-beberkan-3-jurus-korupsi

 
Tunjangan sertifikasi yang seharusnya mensejahterakan para guru, berpotensi menjadi ladang korupsi yang subur.

Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Forum Musyawarah Gu­­ru DKI Jakarta (FMGJ), ke­ma­­rin, menggelar jumpa pers ber­­tajuk “Korupsi Dana Sertifi­kasi Guru”. Acara ini dihadiri Ade Irawan (Manajer Monitoring Pela­yanan Publik ICW), Lody Paat (Koalisi Pendidikan), Retno Listyarti (Koordinator FMGJ), Wildan Chandra (Serikat Guru Ta­nggerang), Turman (Serikat Guru Serang) dan Prio (bekas guru SD di Jember).


Dalam acara di kantor ICW, Ja­karta ini, Koordinator FMGJ Ret­no Listyarti lebih banyak bicara ke­­tim­bang yang lain. Dia men­yatakan, pemerintah telah mem­berikan tunjangan sertifikasi kepada guru yang sudah diser­tifikasi, dan tunjangan non serti­fikasi kepada guru yang belum memperoleh sertifikat pendidik. “Berdasarkan SK Presiden, tun­jangan sertifikasi diberikan setiap bu­lan sebesar satu kali gaji po­kok, dan tunjangan non sertifikasi Rp 250 ribu,” tandasnya.


Retno menambahkan, walau­pun dianggap sebagai langkah maju, tapi mekanisme untuk mem­peroleh tunjangan tersebut mem­buka peluang terjadinya korupsi. “Kami rasa ada korupsi pihak-pihak yang menangani masalah ini,” katanya.

Hasil kajian ICW dan FMGJ menyebutkan, ada tiga masalah po­­kok dalam pencairan kedua tunja­ngan itu. Pertama, penen­tuan urutan guru, dimana prog­ram sertifikasi direncanakan sele­sai pada 2015. “Tentu tidak ada ya­­ng mau mendapat sertifikat pada tahun tersebut. Karena itu, mereka akan berlomba dapat mengisi posisi pada tahun-tahun awal,” imbuhnya.

Menurut Retno, penentu guru yang berhak mengisi kuota untuk mengikuti program sertifikasi ialah kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan. Pada tahap ini kolusi dan suap sangat mung­kin terjadi. “Mereka yang memi­liki ke­dekatan dengan kepala sekolah, pe­ngawas dan dinas atau yang mam­pu mengeluarkan uang sogok, me­miliki kesempatan be­sar untuk me­ngisi kuota,” tandas­nya.

Kedua, biaya administrasi mengurus portofolio juga rawan diselewengkan. Pasalnya, untuk mendapatkan tunjangan profesi, seorang guru harus mengum­pulkan portofolio. “Jika mereka lu­­lus akan mendapat tunjangan pro­fesi, jika tidak harus ikut Dik­lat Profesi Guru,” ujarnya.

Masalah, lanjut Retno, kembali muncul manakala dalam meng­urus, mengumpulkan dan menye­rahkan portofolio kepada Lem­baga Pendidikan Tenaga Kepen­didikan (LPPTK) Dinas Pendi­dikan, para guru diminta­kan uang yang jumlahnya ber­vari­asi. “Ada yang dikenakan Rp 50 ribu, ada yang Rp 200 ribu per orang,” ucapnya.

Ketiga, ditemukan keterlam­batan pencairan. Menurut Retno, pembagian tunjangan sertifikasi guru terganjal masalah petunjuk teknis yang berdasarkan surat Permenkeu Nomor 177/PMK.07/2010. Dalam surat itu disebutkan, tunjangan profesi guru PNS me­rupakan bagian dari pendapa­tan da­erah yang dianggarkan da­lam AP­BD 2010 atau APBDP 2010.

Menurut Retno, perubahan mekanisme penyaluran tunjangan diduga dimanfaatkan penyeleng­gara pada tingkat daerah untuk ikut mengambil keuntungan. Modus yang digunakan ialah memperlambat pencairan kepada guru guna memperoleh bunga. “Ada juga daerah yang meminta guru untuk mengubah rekening­nya, sehingga mempermudah dae­rah melakukan manipulasi,” te­gas­nya.

Selain itu, lanjut dia, terdapat masalah pemotongan tunjangan profesi guru. Masalah itulah yang paling banyak ditemukan. “Ber­ba­gai alasan digunakan dinas pendi­dikan atau UPTD untuk ikut me­nik­mati uang sertifikasi dan non ser­­tifikasi itu. Mulai dari per­min­taan uang terimakasih, membiayai kegi­atan dinas atau UP­TD, mau­pun potongan pajak. Jum­lahnya bervariasi antara Rp 50 ribu sampai Rp 500 ribu,” pa­pa­rnya.

Dia mencontohkan, untuk DKI Jakarta kasus yang dihadapi guru antara lain tunjangan non sertifi­kasi untuk PTT dan CPNS hanya diterima enam bulan. “Seharus­nya 22 bulan. Untuk tunjangan sertifikasi hanya 10 bulan yang cair, sisanya entah kemana.”

Retno juga menyesalkan mo­lor­nya waktu pencairan tunja­ngan tersebut. Tunjangan serti­fikasi molor pencairannya hingga 10 bulan, sementara untuk tun­jangan non sertifikasi molor sam­pai 22 bulan. “Jika ini terus ter­jadi, maka kami akan segera me­la­por­kannya kepada Komisi Pem­berantasan Korupsi,” tegas­nya.

Menanggapai hal itu, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal mengatakan, sebaik­nya  ICW dan FMGJ melakukan pe­ne­litian secara benar. “Benar­kah ada tindakan korupsi di sa­na?” katanya saat dihubungi Rak­yat Merdeka.

Jika ditemukan bukti ada yang melakukan korupsi, kata Fasli, sebaiknya ICW dan kawan-ka­ wan segera melaporkannya ke lembaga penegak hukum. “Kami menyarankan agar yang diduga korupsi dilaporkan kepada yang berwajib,” katanya.

Fasli menambahkan, pihaknya sejauh ini sudah melakukan penyaluran tunjangan sertifikasi dan non sertifikasi secara tepat sasaran. “Itu langsung disetorkan ke rekening masing-masing. Jadi, dimana letak korupsinya,” tandas dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu