Suara Merdeka 13 Nov 2012
YOGYAKARTA - Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo menyatakan tidak bisa menghalangi seseorang membuat kelompok atau organisasi guru, tapi tidak semua organisasi guru dapat disebut sebagai organisasi profesi.
Menurutnya, organisasi guru disebut organisasi profesi kalau memenuhi persyaratan seperti dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, misalnya ada kode etik dan dewan kehormatan.
Sulistiyo menyatakan hal itu sebagai penjelasan berita Suara Merdeka (12/11). ”Berita yang menyatakan sekarang banyak organisasi atau kelompok yang mengaku sebagai organisasi guru, bisa menimbulkan salah paham seolah-olah guru terpecah-belah,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) itu, seusai berbicara di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, guru sebagai profesi memang berbeda dari tenaga kerja yang lain. Sebagai profesi, guru memerlukan organisasi profesi. Bahkan dalam Pasal 41 ayat 3 UU Guru dan Dosen disebutkan, guru wajib menjadi anggota profesi. Organisasi profesi itu harus diatur seperti organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk profesi dokter yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran. PGRI, lanjutnya, sedang menyiapkan diri untuk menjadi organisasi profesi guru yang baik, misalnya dalam penegakan kode etik.
Mulai 2013 guru akan diwajibkan melaksanakan kode etik. PGRI sudah memiliki kode etik sejak 1973 tapi UU Guru dan Dosen baru mewajibkan sejak 2005. Karena itu, kata Sulistiyo, dalam Kongres XX PGRI 2008 PGRI merumuskan kode etik yang lebih lengkap dan terinci sesuai dengan tuntutan zaman dengan melibatkan semua komponen.
Harapan menjadi PNS tampaknya sulit terwujud karena pemerintah berkali-kali menyatakan tidak akan mengangkat mereka menjadi PNS. ”Mungkin benar karena PNS memang bukan hadiah dan warisan. Tapi pola perencanaan kebutuhan dan pemenuhan guru PNS sangat tidak jelas, padahal kekurangan sangat banyak.”
Dia juga menyatakan PGRI saat ini sedang mengusulkan agar guru honorer yang penuh waktu dan prestasinya baik diperlakukan setara dengan PNS, termasuk kesejahteraannya.
”Saya pernah terlibat diskusi keras ketika Men-PAN mengatakan tidak aka ada pengangkatan guru honorer setelah 2006. Saya menyimpulkan, data pemerintah tentang guru honorer sangat minim dan memprihatinkan. Karena itu, saya meminta pemerintah, khususnya Men-PAN, agar kebijaksanaannya diumumkan agar diketahui oleh guru biar guru bisa protes keras,” katanya. (C19-60)
selengkapnya di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/11/13/205320/Guru-Tidak-Terpecah-Belah
YOGYAKARTA - Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sulistiyo menyatakan tidak bisa menghalangi seseorang membuat kelompok atau organisasi guru, tapi tidak semua organisasi guru dapat disebut sebagai organisasi profesi.
Menurutnya, organisasi guru disebut organisasi profesi kalau memenuhi persyaratan seperti dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, misalnya ada kode etik dan dewan kehormatan.
Sulistiyo menyatakan hal itu sebagai penjelasan berita Suara Merdeka (12/11). ”Berita yang menyatakan sekarang banyak organisasi atau kelompok yang mengaku sebagai organisasi guru, bisa menimbulkan salah paham seolah-olah guru terpecah-belah,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) itu, seusai berbicara di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, guru sebagai profesi memang berbeda dari tenaga kerja yang lain. Sebagai profesi, guru memerlukan organisasi profesi. Bahkan dalam Pasal 41 ayat 3 UU Guru dan Dosen disebutkan, guru wajib menjadi anggota profesi. Organisasi profesi itu harus diatur seperti organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk profesi dokter yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran. PGRI, lanjutnya, sedang menyiapkan diri untuk menjadi organisasi profesi guru yang baik, misalnya dalam penegakan kode etik.
Mulai 2013 guru akan diwajibkan melaksanakan kode etik. PGRI sudah memiliki kode etik sejak 1973 tapi UU Guru dan Dosen baru mewajibkan sejak 2005. Karena itu, kata Sulistiyo, dalam Kongres XX PGRI 2008 PGRI merumuskan kode etik yang lebih lengkap dan terinci sesuai dengan tuntutan zaman dengan melibatkan semua komponen.
Guru Honorer
Menurut Sulistyo, PGRI sangat prihatin atas sejumlah kebijakan
tentang guru honorer. Saat ini semua kabupatren/kota kekurangan guru
SD yang pegawai negeri sipil (PNS). Kekurangan itu diisi oleh guru
honorer tapi mereka tidak memperoleh perhatian yang memadai, baik aspek
kepegawaian maupun kesejahteraan. Harapan menjadi PNS tampaknya sulit terwujud karena pemerintah berkali-kali menyatakan tidak akan mengangkat mereka menjadi PNS. ”Mungkin benar karena PNS memang bukan hadiah dan warisan. Tapi pola perencanaan kebutuhan dan pemenuhan guru PNS sangat tidak jelas, padahal kekurangan sangat banyak.”
Dia juga menyatakan PGRI saat ini sedang mengusulkan agar guru honorer yang penuh waktu dan prestasinya baik diperlakukan setara dengan PNS, termasuk kesejahteraannya.
”Saya pernah terlibat diskusi keras ketika Men-PAN mengatakan tidak aka ada pengangkatan guru honorer setelah 2006. Saya menyimpulkan, data pemerintah tentang guru honorer sangat minim dan memprihatinkan. Karena itu, saya meminta pemerintah, khususnya Men-PAN, agar kebijaksanaannya diumumkan agar diketahui oleh guru biar guru bisa protes keras,” katanya. (C19-60)
selengkapnya di http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/11/13/205320/Guru-Tidak-Terpecah-Belah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu